Cacing yg Bisa Dimakan
Laor, Cacing yang bisa dimakan
“Ini pak dok saya bawakan Laor yang sudah dipanggang. rasanya enak lho kalau dimakan hangat-hangat sambil dicocol dabu-dabu (sambal)”, ujar Bidan Ussy, rekan sekerja yang berasal dari Ambon.
“Apa ini? sejenis ikankah?” sambil melihat ke dalam wadah, yang dari jauh lebih mirip jenang atau aspal gitu deh..
“Bukan pak dok. Ini sejenis cacing!”
“Hah?!!” terbelalak sambil menyibak ke dalam bungkusan, tampaklah koloni cacing yang mirip Ascaris lumbricoides tersebut, cacing gelang yang biasa menyerang anak-anak. “Ini dimakan? gimana kalau ada yang ‘kluget-kluget’ masih hidup??”
Laor, penduduk Maluku biasa menyebutnya, atau Wawo (Lysidice oele), merupakan cacing laut yang hanya muncul di bulan-bulan tertentu, setahun sekali. Koloni Cacing ini akan muncul di balik batu karang, mengambang menari-nari di atas permukaan laut. Oleh penduduk sekitar lalu ditampung, dimasak kemudian dikonsumsi.
Faktor yang mendukung kemunculan Laor, menurut Venska, didorong oleh pasang surut air laut dan kadar garam. Selain itu ada mitos-mitos tertentu yang menjadi tanda bagi masyarakat setempat, terhadap kemunculan Laor. Diantaranya tanaman-tanaman tertentu akan membusuk.
Waktu panen Laor dilakukan pada malam hari, dengan menggunakan nyiru (wadah dari anyaman bambu) untuk menimba dan diterangi obor. Penerangan obor sepanjang pesisir pantai, menjadi pemandangan indah tersendiri.
***
Seorang rekan, biasa dipanggil Om Oscar, ijin mencuil ‘adonan’ lalu memakannya dengan lahap….
“Hmmm…nyam..nyam enak Dok..” katanya.
Tentu saja Genghis Khun jadi ngiler untuk turut mencoba 
Segera ikut mencuil, dikunyah perlahan (sambil membayangkan cacing menggeliat di rongga mulut
), krs..krss (bagian ini telurnya).
Ternyata rasanya agak mirip buah Sawo namun lebih gurih..
Sesampainya di rumah, permaisuri malah bergidik dan tambah mual!
Duh, nasibmu cacing…
Komentar
Posting Komentar